Senin, 11 April 2011

Purnama Tak Pernah Sendiri

Oleh : Edelwise Tsurayya

Gerimis menyapu kabut dini hari, kala bintang-bintang pulang keperaduannya. Hewan malam tak lagi riuh semarak, berganti kokok ayam yang terjaga lalu membangunkan segenap penghuni semesta untuk senantiasa mengingat-Nya.
Aku perlahan terbangun dari tidur yang tak lama, empat jam sudah cukup bagiku. Kuintip dalam diam, langit tampak sempurna, awan-awan menggantung tampak jelas putih warnanya. Bulan dalam rupa purnama, terang bercahaya nan indah di sanding lingkaran Halo yang memikat, bagai cincin yang mempersatukan dua hati.
“Ini adalah purnama kelima!” gumamku dalam hati.
Perlahan kuraba perutku yang mulai membesar, seirama dengan pertambahan berat badanku. Benih cinta antara aku dan belahan jiwaku, seseorang yang telah memintaku dengan santun dihadapan orang tuaku untuk menjadikanku pendamping hidupnya dalam limpahan suka maupun terseret duka.
Ayahku, orang satu-satunya yang kumiliki awalnya tak menyetujui pernikahan kami. Dengan alasan tak ingin aku menikah dengan seorang nelayan. Namun ketidaksetujuannya buyar dan memilih untuk merestui semata-mata demi kebahagiaanku.
“Apa kau sungguh-sungguh ingin menikahi putriku, Eliana?” pertanyaan ayah terlontar pada Mas Heru ketika hendak meminangku.
“Iya pak, saya bersungguh-sungguh. Saja akan menikahi dan menjaga putri bapak dengan sebaik-baiknya, seperti menjaga nyawa saya sendiri.” Ungkapannya spontan, jelas dan cukup bergetar. Lelaki mana tak gentar dihadapkan dengan pertanyaan itu.
Air mataku menetes, menuruni lekuk-lekuk pipiku. Temaram purnama yang disertai mendung telah membuaiku dari lamunan. Membawa tubuh beratku beranjak menuju sumur belakang rumah. Akan kutumpahkan semua air mataku kepada sang pemilik semesta, akan kuurai beban ini menjadi ungkapan harapan dan doa. Aku yakin, Tuhan akan mempertemukanku kembali dengan suamiku, ayah dari calon anakku. Ayah dari Purnama.
“Sayangku, Purnama, kamu tak sendiri. Ada bunda di sini yang selalu menemani. Kita tunggu ayah sama-sama ya!” kubelai perlahan perutku, aku yakin Purnama akan medengarkannya.
***
Di suatu tempat, yang tak pernah di ketahui siapapun. Seseorang sibuk sendiri memandangi langit dari bawah pohon kelapa, beralaskan daun nyiur dan berselimutkan kehangatan bara api unggun kecil yang dibuatnya.
“Sungguh aku merindumu Eliana, rindu mendalam dan hasrat menggila yang tak terbendung. Ini adalah purnama kelima, usia benih cinta kita. Aku belum rela mati sia-sia di pulau tak berpenghuni ini, aku ingin jumpa dengan kalian”.
Fajar menyingsing, menyisakan sisa pembakaran semalam. Lelaki itu tampak tergeletak kaku. Tak jauh di pesisir pantai tergores guratan di atas pasir dalam ukuran besar, tertera tiga huruf saja “S.O.S”.


***370 kata***

Alhamdulillah bisa masuk menyemarakkan buku menulis di atas pasir... masuk 5 FF pilihan, urutan paling bontot ^_^ (berarti ini adalah antologi keempatku... Sengattttt - semangat!)

2 komentar: