Senin, 11 April 2011

Bukan Rumah Pertama

Tidak semua orang beruntung mendapatkan cinta, tapi setiap orang beruntung bisa mencintai. Seperti halnya aku, sungguh nikmat yang luar biasa telah anugerah Tuhan padaku, keluarga kecilku sangat harmonis. Anak pertama kami tumbuh dengan ceria, suamiku yang sangat pengertian dan mencintai kami. Walaupun pekerjaannya sangat tidak memungkinkan untuk berkumpul 7 hari dalam sepekan, karena jarak kantor suamiku berada di luar kota.
Senja di hari kamis, waktu yang tak biasa suamiku pulang, biasanya hari jum’at adalah waktu untuk keluarga sehingga kami bisa menikmati liburan akhir pekan bersama.
“Ayah, tumben pulang cepat? apakah Ayah sakit?” tanyaku penuh selidik
“Ayah tidak apa-apa Bunda, bagaimana Nara dan Bunda?”
“Semua baik-baik saja. Ayah pasti capek, Bunda ada jus mangga kesukaan Ayah.”
Sekembalinya ke ruang tamu, kuberikan gelas itu pada suamiku. Namun kutemukan ada seorang tamu di ruangan itu, seorang anak perempuan kecil yang cantik, usianya kira-kira 6 tahun.
“Ayah, kenapa gak bilang dari tadi kalau ada tamu.” Tanpa sempat bicara, aku pun ke dapur lagi dan kembali membawakan satu gelas jus mangga.
Kuserahkan pada tamu kecil kami itu, dia terima dengan senyum hangat dan ucapan terima kasih yang tak begitu kentara di telingaku.
“Bunda Ini Narita, akan tinggal bersama kita.” Ucap suamiku.
“Kenapa begitu?” tanyaku pelan.
“Ibunya telah meninggal dunia. Dia tak ada siapa-siapa lagi selain Ayah.”
“Maksudnya?” jantungku berdetak tak karuan.
“Dia putri Ayah.” Jawabnya tiba-tiba.
“Bagaimana mungkin! Putra kita, Nara belum genap 4 tahun!” ujarku tak percaya dan bagaikan disambar petir seketika.
Tangisku pecah. Suamiku mencoba menenangkanku dan menjelaskan semua.
“Jadi selama ini 3 hari dalam sepekan denganku sebagai pelabuhan dari kantor yang jauh dari rumah Ayah yang sesungguhnya?” terisak kuungkapkan kalimat.
“Ayah bisa jelaskan, ini semua karena Ibu sangat menginginkan seorang cucu laki-laki dari Ayah. Sedangkan Ibunya Narita tidak dapat mengandung lagi karena kanker yang ia derita.”
“Jadi? Ibu juga ikut merancanakan ini? Ibu mertua yang menyayangiku?” tangisku kembali pecah dan aku sangat terpukul
“Maafkan ya! Ayah sayang Bunda, pernikahan kita pun atas persetujuan dan permintaan Ibunya Narita.”
“Ayah, kenapa jadi begini? Kenapa kejujuran tidak dari dulu?” tangisku pun pecah di pangkuan suamiku.
“Teganya aku jika tidak menerima anak tidak berdosa yang cantik itu, sedangkan nyata di depan matanya bahwa posisiku sebagai istri Ayahnya juga.” Batinku
Aku beranjak mendekati gadis kecil itu, dalam haru kuberanikan diri untuk menyapanya.
“Narita, mulai sekarang panggil saya Bunda ya. Ini Bundanya Narita juga.” Kupeluk Narita dengan erat, hanya terdengar isak tangisku saja.
Suamiku tersenyum.

***

[EdT]

FF ini diikutsertakan dalam lomba FF 400 kata dengan tema Poligami ^_^

Tidak ada komentar:

Posting Komentar