Rabu, 13 April 2011

Mari Kita Mencintai Karya Sendiri

Mengintip SELASAR CINTA Majalah Story edisi 20

Hallo Sahabat, izinkan aku berbagi hari ini. Hatiku gundah berhari-hari, entah mengapa ini menjadi beban hati. Sungguh seandainya aku bisa atasi tak perlu jadi beban fikiran begini. Untunglah nafsu makanku tak mempengaruhi ^_^.
Sejak Desember kudengar kabar berita ini, namun aku hanya mengamati saja. (Toh aku ini bukan siapa-siapa dan bukan apa-apa). Hatiku hanya tergelitik dan sedih, sehingga timbul pertanyaan hatiku. “Apakah kita cinta karya sendiri?”. Aku merasa bahagia melihat apresiasi teman-teman yang ikut lomba menulis. Sungguh memberikan tempat tersendiri dihatiku sebagai motivasi untuk terus belajar dan menggali ilmu. Bagiku, tindakan para sahabat itu adalah salah satu wujud kepercayaan diri dan kecintaan akan karya sendiri.
Hmm, ternyata ada rasa yang berbeda, ketika kita hanya melihat saja kejadian yang jauh dari jangkauan kita dibanding jika terjadi di depan mata kita. Walaupun itu bukan karya kita tetap saja “KATAKAN HITAM ADALAH HITAM DAN KATAKAN PUTIH ADALAH PUTIH”. Diam adalah selemah-lemah iman so pasti kita akan mencoba mengungkap sesuatu yang “menggelitik pikiran itu”.
Kemarin kembali kutemukan hal yang memiliki rel yang sama dengan pemicu gundah tersebut. Di rubrik Selasar Cinta Majalah Story. Ada judul “Mari Kita Mencintai Karya Sendiri” aku pun bertanya pada diri ini dan mencoba menjawab dalam hati. Semoga sahabat juga demikian.
Tak ada maksud menyudutkan salah satu pihak, bagiku ini adalah hal penting yang patut kita ketahui bersama, terutama ada temans yang belum sempat baca mengenai kasus plagiarism.
Sebagai bentuk kecintaanku pada sahabat, aku kutipkan tulisan yang ada di majalah story. Cekibrot…!

“Selasar Cinta mengundang Swistien Kustantyana yang salah satu cerpennya konon telah di plagiasi oleh dua orang. Mereka berdua, laki-laki yang mulai mengawali karier menulis, kebetulan adalah sahabat bergaul Swistien, bukan orang asing. Bahkan keduanya sempat menyampaikan sebelumnya, bahwa akan menulis cerpen yang menjadi “jawaban” dari cerpen Swistien itu. Apakah hasilnya sesuai dengan permintaan izinnya? Menurut para pembaca, mereka menjiplak, karena sejak paragraph pertama sudah mengambil gaya bercerita Swistien.
“Saya bingung, apakah itu termasuk plagiat atau terinspirasi. Karena itu saya tidak berkomentar apapun, bahkan ketika yang bersangkutan mengirim pesan khusus kepadas aya. Tetapi saya tahu, bahkan ada lembaga komunitas sastra yang memvonis karya itu sebagai plagiat dari cerpen saya,” demikian Swistien mengaku.
Baiklah kita bukan hendak memperpanjang masalah, tetapi justru ingin segera menghentikan praktik plagiasi mulai dari diri sendiri. Mari merasa malu jika melakukan pencurian karya, karena hal itu menunjukkan kita tidak menghargai diri sendiri, bahkan menodai citra kita sebagai pengarang yang dianggap manusia kreatif.
Nita Tjindarbumi, Aniters yang masih aktif menulis cerpen, memberikan pendapat sebagai seorang ahli hokum (lawyer). Plagiarism adalah tindakan kejahatan. Jika dirujuk ke dalam pasa-pasal pelanggaran, pasti akan dijumpai tindakan hokum yang dapat menjeratnya, misalnya dikaitkan denganpelanggaran hak sipta. Sayangnya tak pernah ada tuntutan lanjut dari oengarang yang dicuri karyanya, sehingga kejadian serupa selalu saja terulang dari generasi ke generasi.
Kepada mereka yang masih muda dan produktif itu, perlu kiranya mendapatkan bekal mengenai etika berkarya, mengingat masa depan yang masih panjang menuju gemilang. Begitulah seharusnya dialektika para penulis muda dibangun. Mengutamakan kejujuran berkarya dan apresiasi untuk yang berprestasi (secara kuantitas maupun kualitas). Untuk itulah, mari kita mencintai karya sendiri. Itu resep mujarabnya. (Selasar Cinta. Majalah Story edisi 20, hal: 79).”

Jadi, sekarang kita sudah tau bukan? Jika tak ada dosa dalam ketidaktahuan, maka jika kita telah tahu, kita pun tau apa ganjarannya. Apalagi termasuk hal yang dinilai tidak beretika. Inilah gunanya teman, untuk saling mengingatkan. Toh aku ini pun banyak kekurangannya. (Temans, ingatkalah aku jika tak dijalurnya).
Belajar dari pengalamanku yang seumur bunga matahari yang sedang berbunga. Memanglah sangat sulit membangkitkan rasa percaya diri pada karya sendiri dan mempublikasikannya, memerima saran dan kritik (keripik sanjay). Tapi sejalan waktu rasa percaya itu tumbuh dibarengi dengan kecintaan kita pada karya kita dan keterbukaan untuk memperbaiki diri.
Jika aku boleh menitipkan kalimat “Narsis dengan karya itu sah-sah saja” asalkan tetap beretika. Kan tidak berdosa ^_^ .
Okelah kalau begitu, mari cintai karya kita. Sejelek apapun hasil coretan kita, itu adalah karya kita yang mealui proses kreatif dan pantas di apresiasi.
Sekarang pertanyaanku adalah sejauh mana suatu karya yang disebut terinspirasi dan plagiasi, mungkin ada sahabat yang bisa membantu menjawabnya, tolong dibagi disini… (Plizzzz…. ^_^).
Finally, sebagai penutup aku ucapkan terimakasih kepada para sahabat yang telah suka rela membeca tulisan ini. Aku adalah seorang pembelajar saja yang ingin berbagi dengan semua. Tak ada maksud menyudutkan ataupun menuduh siapapun. (Yang merasa DL deh hehe). Mari kita saling mengingatkan… menulis pun aku masih belepotan (Mohon baca dari sudut esensi, jangan persoalkan diksi) Insyaallah aku akan terus memperbaiki diri. (nawar.com)

Selamat siang dan selamat beraktivitas.
Salam Takzim

Edelwise Tsurayya

“Penulis tanpa nama pun patut kita perjuangkan”

#Apa yang sahabat lakukan jika praktek plagiasi ada di depan mata para sahabat?#

***

[EdT] 14 April 2011 10.45 am

1 komentar:

  1. kalo bukan kita, meskipun jelek banget gitu loh, siapa lagi yg mau menghargai karya sendiri

    BalasHapus