Sabtu, 09 April 2011

Bunga dan Lelaki Gurun


Apa kabar bunga? Apa kini yang ditangisinya? Malam kini tak lagi menyimpan rahasia. Malam sudah mabuk dengan langit yang purnama. Malam telah membubung mengarak dan mengaduh  ditepi langit. 
Rindu. Ingin naik menjumpainya, sekedar memberi ucapan selamat atau menyentuh ujung rindu langit. Meski untuk itu dia selalu menjerit sakit. Sakit! Tidak kah kau sadar? Ia begitu kesakitan? Dan langit mungkin hanya mencibir “Pergilah”, pergi ke tempat dimana cinta tak dapat tumbuh!
Tapi bunga, tempat seperti apa itu? Dimana? Adakah sebuah tempat dimana cinta tidak pernah lahir dan tumbuh? Jika ada, berikanlah aku jalan, dan tanpa menoleh aku akan pergi kesana.
Kini malam menjadi penghulu orang-orang gila. Sulit bagi kita untuk mebujuknya.  Pasti ia tidak ingin meninggalkan kehidupannya. Malam kini duka. Malam kini ragu. Malam adalah guliran embun diatas daun-daun ketika subuh beranjak dari mimpi. Malam adalah ombak yang pasang  surut. Malam adalah… sakit.
Malam adalah sakit. Seperti matahari yang terjatuh kedalan riakan air.
Bungaku,… kaukah malam? Kemarilah……

            Berkali-kali ku baca surat itu, sedikitku pun tak kupahami “Apa maksud dari tulisanmu lelaki gurun?”
Surat ke-sembilannya, sejak tujuh tahun lalu kami berpisah. Pilihannya menuntut ilmu di Al Azhar Cairo. “Sungguh aku tak paham maksud surat ini” keluhku pada malam
Ku buka kembali file surat elektronikku yang kukirim tiga hari lalu, “Adakah tulisanku yang tak dia mengerti?”

            Lelaki gurun, apa kabar dunia timur? Kudengar di televisi, Mesir sedang bergejolak. Semoga engkau baik-baik saja disana. Maafkan aku karena tidak bisa mengirim lewat pos seperti kebiasaanmu. Terlalu lama, waktuku tak banyak.
 Sekali lagi maaf lelaki gurun. Aku tidak bisa menolak keputusan orang tuaku. Mereka cerita, ternyata aku telah dijodohkan. Orang tuaku harus setuju, karena kekekku telah sepakat dua puluh empat tahun lalu dengan sahabatnya, terasa pedih kenyataan ini.
Pekan depan aku dilamar. Itu artinya, kisah kita jadi sejarah. Sungguh aku tak dapat menolak, ini demi kakekku. Maafkan aku, kita tak bisa berbuat banyak. Aku dengar nama kecilnya dari adikku tapi aku lupa, jadi aku tak bisa memberitahumu. 

Dering handphone memecah konsentrasiku, “Nomor asing” Gumamku
“Assalamualaikum Miya..!” Terdengar suara terburu-buru namun tak ku kenal
“Wa’alaikumsalam!” Jawabku cemas
“Miya, ini Fikri. Besok aku harus pulang ke Indonesia, kakekku sakit dan minta aku pulang! Emailku sudah baca? Tentang hal itu, kita hanya bisa terima dengan ikhlas.
“Aku  ikhlas kak Fikri, Insyaallah” Jawabku pelan namun menyimpan sedih
“Baiklah, sudah dulu ya! Wassalamulaaikum!”
***
Keluarga telah berkumpul, dari kedua belah pihak. Acara lamaran telah dimulai. Aku duduk paling sudut. Tertunduk sambil tak henti berzikir untuk menenangkan hati, di sampingku ada adikku bersama keluarga.
“Bagaimana ananda Kimiya Zahra, apakah menerima pinangan dari keluarga besar Alam Syah? Suara sang juru bicara mengagetkanku
“Apakah aku harus mengangguk atau menggeleng?” Gumamku dalam hati
Ku beranikan mencuri pandang dan “Saya terima dan bersedia!” Ungkapku spontan dan tanpa sengaja tatapan mata kami bertemu. Wajah itu, telah ku kenal sejak tujuh tahun lalu waktu sekolah. “Subhanallah terima kasih Ya Allah, dia lelaki gurun itu, Fikri Alam Syah!”


-483 kata-

 Cerita ini di ikutsertakan pada lomba cipta flash fiction perjodohan oleh Hasfa Publisher
Alhamdulillah masuk 75 besar dan akan dibukukan ^_^

Tidak ada komentar:

Posting Komentar